Site Network: Home | perjalanan | komputer | About

HOT TOPIC

JAKARTA - Kasus pernikahan kontroversial yang dilakukan Syekh Puji terhadap anak di bawah umur ditengarai telah melanggar tiga undang-undang (UU) yang ada di Indonesia, dan Konvensi Jenewa tentang Hak Anak-anak.

Ketiga UU tersebut, yakni UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta menuturkan, pernikahan dini itu mempunyai implikasi yang serius bagi anak khususnya perempuan. Termasuk bahaya kesehatan, trauma psikis berkepanjangan, gangguan perkembangan pribadi, dampak sosial seperti putus sekolah, kesempatan ekonomi yang terbatas, dan seringkali sebagai pemicu perceraian dini.

"Tingginya angka usia perkawinan dini berkaitan dengan terlalu cepatnya anak-anak kehilangan aksesbelitas pada pendidikan," ucap Meutia dalam konferensi press 'Dampak Penikahan Dini' yang digelar oleh Departemen Komunikasi dan Informasi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (3/11/2008).

Sementara itu di tempat yang sama Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menggarisbawahi pemahaman bersama dalam Konvensi Jenewa tentang Hak Anak-anak. Sehingga KPAI menghimbau kepada seluruh masyarakat, agar tidak lagi memiliki ide mengupayakan atau melakukan perkawinan dini dengan anak-anak.

"Dalam pasal satu (Konvensi Jenewa) jelas-jelas disebutkan, bahwa seorang anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 tahun," ujar Ketua KPAI Masnah Tari.

Ketua MUI Huzaimah yang juga hadir dalam konferensi press tersebut menekankan, agar masyarakat tidak terpengaruh dan ikut-ikutan dengan tindakan Syekh Puji yang menikahi anak di bawah umur. MUI menjelaskan dasar menikah adalah memiliki kesiapan materi, mental, dan kejiwaan. Sehingga tujuan berumahtangga dengan membangun keluarga yang penuh cinta dan kasih sayang dapat diwujudkan.

"Lalu kalau anak-anak, bagaimana mereka memaknai cinta dan kasih sayang?" tanya Huzaimah.

Sementara Menteri Komunikasi dan Informasi M Nuh juga menghimbau agar media massa lebih arif dalam memberi porsi pemberitaan dalam kasus ini. Untuk menghidarkan kemungkinan trauma psikologis di masa mendatang, seorang anak wajib mendapat perlindungan dalam hal publikasi. Sehingga sebaiknya wajah, maupun nama lengkap anak tidak dibuka terang-terangan di media massa.

"Seorang anak yang sudah menjadi korban hendaknya tidak lagi dikorbankan dalam pemberitaan media," tegasnya. (hri)

0 Comments:

Post a Comment