Site Network: Home | perjalanan | komputer | About

HOT TOPIC

awan sedang mendung dan berkabut
tak tau mengapa
apa mungkin kerana bintang yang menentu
apa mungkin kerana rembulan yang tak lagi tersenyum

ingatkah saat kali pertama kita berjumpa di ufuk barat perhentian hari?
ku sapa dengan penuh canda lembayung sore saat itu
menanyakan kabar sinarnya yang terpantul padamu
kutanyakan ranum mentari saat menjelang terbenamnya
kutanyakan arah kepulangan riuhan sang burung

ku berikan arah agar kau lebih cepat sampai ke pesinggahan malam
untung saja kau tak mengikutiku
karena sebenarnya akupun tak tau
hingga bisa jadi kau kan tersesat di jalan pulang mu

hingga kini masih kuingat lembayung sore itu
penuh dengan senyum tersimpul dan tawa tertahan
meski tak ada oranglain yang tau
hanya kita, awan dan sebuah bintang kecil

kepada bintang......
awan ingin membuaimu dalam dinggasananya nan lusuh

kepada bintang......
awan ingin melihatmu dalam kerlip cahaya penuh bahagia
dalam kelip penuh pesona
meski dari kejauhan saja
bukannya bulir-bulir air mata
yang menghiasi mu
hingga matamu berkaca-kaca menunggu senja


kepada bintang
jangan kau gantung cahaya mu
bergelayut menimpa awan
karena awan pasti takkan mampu menerimanya

kepada bintang yang muncul di ufuk barat
meninggalkan kerlipan terakhir dengan senyum
dengan senyum simpul di ujung

kepada bintang yang menginginkan keindahan
yang tak ingin pula larut dalam kegelisahan dan kesedihan
tersenyumlah hari ini
bukan karena aku bukan pula karena bunda
tapi karena kau mau

bintang kecil memang hanya muncul pada malam hari
kala penyair-panyair sedang asyik masyuk mendendangkan puisi cinta bagi kekasihnya
roman mukamu kembali berubah saat dia berkali-kali menyanjung dirimu

seketika itu pula kau menghilang dari pandangan mata
hanya mengisyaratkan dengan kerlingan tak seberapa
bahasamu penuh isyarat
kata-katamu terkadang tak kumengerti
atau ku mengerti lain

hanya kita yang tau
tapi apa kau tau bahasa awan?
apa kau mengerti tiap bait puisi yang terinspirasi dari mu
hingga kau tersipu malu
atau kita hanya mengira-ira yang sebenarnya kita juga tak sama-sama tau
atau memang kita telah merasa sudah tau?

hihihi


lutunya


backom.....




sebenarnya hatiku lagi gundah nggak tau kenapa tapi yang jelas aku lagi strees hihih


astagfirullahhaladzim

nggak jelas sih mau tau kenapa en semua itu gaa2 apa
yang jelas gue nggak tenang aja.....

nggak bisa lulus cepet (desember)
hiks-hiks

weks pagi lagi en sebenar matahari dah di ubun-ubun
dah siang euy....

lagi nyari data lagi tapi tambah bingung coz banyak data yang bikin kita pengen cari en topik-topik tambah bagus.....
aku masih di perpus nih maenan internet sedang diatas ku persis ruang rektorat yang pastinya temen2 ku lagi di investigasi-dengan intimidasi yang nggak jelas alasannya yang pastinya aku nggak tau. biasalah anak2 baek selalu di tentang tapi kalo sama2 jelek mreka akur yah kayak sikap moral yang di luncurkan mereka dengan merek PSI tapi moralya nggak tau kemana, kata-kata ngga di jaga . parah....

bete nih nyari bahan dikit banget , jauh-jauh lagi

mohon bantuannnya bagi temenk sekalian yang punya or minimal tau literatur tentang ekonomi syariah Zakat Profesi mohon dengan sangat to email andyafif@yahoo.com

thanks yah

awan berarak menuju ke kotaku siang ini terik terus membakar matahari

aku tak tau siapa yang memulaitapi hati ini masih tak tenang
mungkin lambat tapi pasti

hilang menghilangtak terasa dalam kehidupanpasti ada pertemuanpasti ada perpisahan
meski sakit.....
miris di hati....
aku tak tau
apa yang aku rasakan saat ini
tak ada yang bisa aku kata
sakit namun karena apa?
miris namun karena apa?
masih ingat telor itu...... kini telah berubah .....
masih ingat wortel itu kini telah berubah....
dan kini masih ingat kopi itu kini pun ia telah berubah.....
TUHAN kuatkanlah aku.....


masih di Yogya tak tau sampai kapan ....
kamis, kelewat saur ..... kelewat dzuhur 16 rajab 1427

Remahan hati mulai menyatu
Karena keimanan dan kerelaan hati yang berdasar keikhlasan
Keridloan itu kini telah datang

Apakah kau tau apa itu cinta sejati
Orang berkata, pujangga bersyair tapi mereka masih pula bertanya]

Karena mereka tak pernah merasa keindahan dan kesungguhan sebelum mereka diuji
Aku tak atau mau menuliskan dari narisan kata demi kata lagi
Namun aku merasa perlu untuk berkata
Berkata bahwa cinta sejati sesungguhnya adalah yang tulus ….
Kadang orang berkata cinta sejati namun dikala ditanya apakah ia tulus
Tulus tanpa terbetik keinginan tuk memiliki
atau berharap tuk pamrih barang secuil

Cinta sejati adalah ketulusan saat kita mendapatkannya
Maupun ketulusan untuk melepasnya jika itu adalah kebaikan di sisinya

Sumber : Majalah Wanita Isu 1133
Seorang profesor psikologi dari Jerman datang ke Amerika dan tinggal bersebelahan dengan bilik seorang penulis. Mereka bertemu ketika sarapan pagi dan secara kebetulan duduk semeja. Entah bagaimana, penulis tersebut bercerita tentang masalah dirinya dan profesor tersebut memberi sepenuh perhatian mendengar ceritanya.Sepuluh tahun kemudian, profesor tersebut menghantar sepucuk surat kepada penulis tersebut untuk memohon derma bagi membangunkan klinik kebajikannya di Jerman dan penulis tersebut memberi maklumbalas yang memberangsangkan berserta cek yang bernilai 10,000 USD. Katanya dalam surat tersebut, bahawa apa yang dilakukan oleh profesor tersebut dapat menghalangnya daripada meneruskan niat untuk membunuh diri. Kini dia semakin berjaya. Namun, jawapan profesor tersebut dalam surat balasannya ialah, ketika penulis tersebut menceritakan masalahnya..profesor itu tak sedikitpun memahami apa yang dicakapkan kerana dia tidak faham bahasa inggeris. Dia hanya mendengar rintihan hati penulis itu. Begitulah rahsia dan kekuatan yang ada pada kemahiran mendengar. Kecerdasan mendengar bukan saja dapat menyelamatkan individu yang ditimpa masalah tetapi juga mempunyai bahasa universal, boleh difahami sekalipun tidak faham apa yang dituturkan dan diperkatakan.Inilah yang dinamakan KOMUNIKASI NON-VERBAL. Komunikasi ini lebih penting dalam situasi kaunseling kerana penerokaan lebih mudah dilakukan dan proses kaunseling berjalan dengan lebih pantas. Mimik muka, pergerakan bahu, tangan dan cara duduk dapat membantu kaunselor membina soalan yang lebih menjurus kepada perasaan dan emosi klien. Selalunya individu merasakan dirinya kesunyian, diabaikan, tidak dipedulikan dalam hubungan komunikasi seharian. Justerus sekiranya ada orang yang suka dan sanggup mendengar masalahnya maka dia akan berasa ada orang yang sudi mendengar masalahnya. Lantas, dia terasa bahawa dirinya masih diterima, dihormati dan dihargai. Apabila proses mendengar ini dilakukan dengan penuh teliti, klien dapat melepaskan perasaannya dengan bebas. Apa saja yang menjadi tekanan pada emosi dan fikiran dapat diluahkan tanpa rasa takut dan bimbang. Keikhlasan daripada pendengar dapat dirasakan olehnya lalu menjadikannya lebih berani menerokai dirinya tanpa ancaman. Penerokaan kendiri menjadi deria ke-6 iaitu hati semakin tinggi dan tajam fungsinya sekaligus mudah untuk mencari ketenangan dan mendekatkan diri kepada Allah. Apabila hati dapat melihat persoalan dan permasalahan dalam hidup maka sudah tentu individu itu akan dapat membawa dirinya keluar daripada masalah yang membelenggu. Hati yang tenang dapat meningkatkan kecerdasan emosi dan spiritual. Individu yang berjaya adalah terdiri daripada individu yang dapat menggunakan potensi mendengar dengan baik. Lihatlah dengan hati, dengarlah dengan mata nescaya tingkat keseimbangan diri yang tinggi dapat dicapai untuk menggapai kejayaan.

masih jiwa ini berkata
masihkah jiwa ini merasa
hanya Dia . . .
hanya Dia . . .



izinkan Hanya DIA di sana
.......


lidah ini adalah amanah kata ini adalah pedangnya.......

Bunga kecil telah luruh di rumah kami
menjemput kakak kami sesaat sebelum kejadian


bibiku melihat banyak sekali bunga2 kuning seperti bunga di tepi jalanan sana yang jatuh luruh memenuhi rumah kami sesaat sebelum rumah kami roboh saat gempa itu terjadi. Benarlah janji Allah bahwa seorang yang syahid tidak akan merasakan kesakitan karena telah dilepas rasa sakit itu, ruhnya telah diambil sesaat sebelum kejadian. dan Ia telah selamatkan jazadnya tanpa luka sedikitpun baik luka dalam maupun darah saat itu
{seperti dituturkan bibi ku di tenda depan rumah semalam }

subhanalloh banget maha suci engkau ya Alloh

saat dimandikan pun tak ada luka sedikitpin hanya sedikit bekas baret batu bata ki lutut kirinya
(seperti ucapan bu mul besan ibu ku waktu sedang memandikan jenazah kaka)



Tuhan terimakasih atas segala kecukupan yang kau beri, keindahan yang yang beri, keanggunan yang kau beri atas kakak ku. Tuhan terimakasih atas ketegaran yang kau beri atas kepergian kakak kami pada kami. Tuhan dia memang milik Mu jadi sudah sepantasnyalah kau minta dia kembali. jika Boleh menawar kami pun inginya nanti....
beragam mimpi tuk masa depan telah coba kami ukir, menatap masa depan dengan indah. Tapi kamipun sadar kami dia adalah amanah dari Mu
baru kemarin aku katakan pada kakak kalo aku sudah bisa tau apa itu ilmu ikhlas, dikala aku relakan hatiku tuk diberikan pada sahabatku namun ternyata Engkau menguji ku kembali seberapa Ikhlaskah diriku...
Tuhan Jiwa ini ....
(habis kata-kata)

Photobucket - Video and Image Hosting

Senyuman indah nan lembut masih terbayang dsini
keinginan merubah dunia menjadi lebih indah
Tuhan....
aku tau Engkau pasti kan menempatkan ia tepat dekat dengan -MU
Tuhan ....
Mujahidah-Mu telah datang mendekat kepadamu Tuhan

balutan KeSyahidan benar ia jemput
Robbi...
keinginan terakhirnya adalah Syahid bertemu dengan Mu
dan kini Ia telah Menemui Mu
terimalah ia dalam Keadaan Khusnul Khotimah KEsyahidan Ada Padanya

Ya Robbi
Rajutan Indah Dunia yang kau Ukir
menjadikan Ia seorang Syahidah

ALLAHUAKBAR !!!!
ALLAHUAKBAR!!!!
ALLAHUAKBAR !!!!

Innalillahi wa Inna Illaihi Rojiun
Kami telah Ikhlas Ya Alloh Mengantar kakak Kami tercinta Evi Afifah Kurniawati Kepada MU

Ya Robbi
tempatkan Ia terbaik di sisiMu
amiiinn

Al-Ikhwan.net | 30 November 2006 | 8 Dzulqaidah 1427 H |
Abu Nu'man Mubarok

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنْ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ . وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
(لقمان : 14-15)



“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Luqman: 14-15)

Ayat ini Allah selipkan di tengah-tengah pesan Luqman al Hakim kepada anaknya, para ahli tafsir menyebutnya sebagai jumlah i’tiradhiyah. Keterangannya begini: ketika Luqman berpesan agar anaknya menjauhi syirik (sikap menyekutukan Allah) Allah segera mengingatkan dengan ayat di atas bahwa keharusan meninggalkan syirik adalah satu hal yang sangat mendasar. Tidak bisa ditawar-tawar. Sampaipun ajakan untuk bertindak syirik datangnya dari orang tua -yang harus ditaati dan dicintai- seorang anak harus tetap bersikap tegas pada pendiriannya, dengan tanpa melukai perasaannya.

Imam Ibn Katsir menyitir sebab turunnya ayat tersebut: Sa’ad bin Abi Waqqas bercerita: “Saya adalah seorang yang selalu mengabdi kepada ibu. Ketika saya masuk Islam ibu saya berkata: Agama apa yang kamu ikuti itu? Saya minta agar kamu tinggalkan agama tersebut. Jika tidak saya tidak akan makan dan minum sampai mati, sehingga orang berkata bahwa kamu adalah pembunuh saya. Saya lalu berkata: wahai ibu jangan kau lakukan itu. Sampai kapanpun saya tidak akan pernah meninggalkan agama ini. Tapi ibu benar-benar melakukan itu, lanjut Sa’ad. Hari pertama, lalu hari kedua, sampai hari ketiga. Kondisinya benar-benar mengerikan. Saya langsung segera mendekatinya: Ketahuilah wahai ibu, -kata saya lebih lanjut- seandainya kau mempunyai seratus jiwa, dan satu persatu jiwa tersebut pergi, saya tidak akan pernah meninggalkan agamaku ini. Jika ibu mau makanlah, jika tidak teruskan saja menahan lapar. Karena ketegaran pendirian saya tersebut, ibu lalu makan. Maka turunlah ayat di atas.

Kewajiban Menghormati Orang Tua

Berbuat baik kepada kedua orang tua adalah ajaran yang selalu Allah pesankan tidak hanya kepada Rasulullah SAW, melainkan juga kepada nabi-nabi terdahulu. Dalam surat Al Baqarah: 83 Allah berfirman: Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak…”. Dalam An Nisa’ 36: Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada ibu-bapa…” Dalam Al An’am:151: Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap ibu bapa…”.

Ketika menafsirkan ayat yang kita bahas di atas, Imam Az Zamakhsyary dalam karya monumentalnya Al Kasysyaf menyingkap rahasia mengapa Allah menyebutkan secara khsusus gambaran capeknya seorang ibu saat-saat mengandung sang anak “hamalathu ummuhuu wahnan ‘alaa wahnin”. Di sini kata Az Zamakhsyary: mengandung suatu penekanan agar sang anak kelak benar-benar menghormati ibunya. Bahwa hak seorang ibu kepada anaknya adalah sangat agung. Rasulullah SAW ketika ditanya oleh salah seorang sahabat mengenai kepada siapa ia harus berbuat baik, ia menjawab: “ibumu”, “ibumu”, “ibumu”, lalu “bapakmu”. (Al Kasysyaf, Az Zamakhsyary: vol: 3, h. 494-495)

Cinta dan pengorbanan seorang ibu memang sangat tergambar dalam ungkapan: “hamalathu ummuhuu wahnan alaa wahnin”, tetapi seringkali sang anak tidak merasakannya. Karena waktu itu ia masih dalam kandungan dan kalaupun telah lahir selama dua tahun disusui, anak belum bisa menangkap kesan secara sempurna. Karena itulah Allah sebutkan dalam ayat di atas supaya nampak betapa besarnya kasih sayang sang ibu. Dan bahkan semua itu tidak kalah pentingnya bila dibandingkan dengan perjuangan sang ayah dalam mencari nafkah.

Manusia memang cendrung berterimaksih kepada orang yang bantuannya nampak di depan matanya dan ia rasakan secara langsung. Perjuangan seorang ayah ketika mencari nafkah dan membiayai kebutuhan rumah tangga, memang sangat nampak dan terasa secara langsung bagi sang anak. Maka sebelum persepsi negatif muncul, bahwa sang ibu tidak berbuat apa-apa, dan supaya sikap merendahkan peranan ibu tidak terjadi Allah segera mengingatkan akan pengorbanan yang sangat agung ini. Dan hebatnya lagi, peringatan ini datangnya langsung dari Allah. Suatu indikasi yang menggambarkan betapa besar jasa kedua orang tua, terutama sang ibu, dan bahwa menghormati dan mengabdi kepada keduanya bukan hanya suatu sikap yang sangat penting dan mendasar melainkan suatu kewajiban.

Lebih dari itu Allah tidak bosan-bosan mengulang-ngulang pesan keharusan berbuat baik kepada kedua orang tua di berbagai kesempatan dalam Al Qur’an. Mengapa? Mari kita lihat bahwa ternyata kecintaan dan tanggung jawab orang tua kepada anak adalah fitrah yang Allah tanamkan dalam diri setiap orang tua. Makanya, capek bagaimanapun orang tua tetap berjuang untuk mengandung, menyusui dan membesarkan anaknya. Bahkan mereka seringkali merasa senang sekalipun harus mengorbankan waktu tidurnya di tengah malam saat enak-enaknya tidur. Ini adalah sunnatullah yang sudah Allah tetapkan demi berlangsungnya kehidupan di bumi. Tetapi kecintaan dan ketaatan seorang anak kepada orang tua, butuh kesadaran. Untuk mencapai kesadaran ini butuh peringatan yang terus-menerus bahwa mentatati orang tua adalah suatu kewajiaban. Dari sini Nampak rahasia mengapa sampai sebegitu rupa Allah menggambarkan getir perjuangan seorang ibu terhadap anaknya. Itu tidak ada lain, agar anak tersentuh lalu tersadar, dan seteleh itu tergerakkan untuk menjalankan kewajibannya kepada kedua orangtuanya dengan sungguh-sungguh.

Sebagai suatu kewajiban maka tentu tidak ada perbedaan fiqih dalam hal ini. Semua ulama bersepakat akan wajibnya mengabdi kepada kedua orang tua. Kecuali jika suatu saat kelak salah seorang dari kedua orang tua memerintahkan untuk berbuat syirik, maka kartu hak untuk ditaati seperti yang kita sebutkan tadi tidak bisa dipergunakan. Dan dalam kontek inilah ayat di atas di selipkan. Supaya tidak menimbulkan paham bolehnya mengkultuskan orang tua sampai ketingkat keharusan mentaatinya sekalipun harus melanggar ajaran Allah SWT. Tidak, orang tua memang harus dihormati dan ditaati, tetapi dalam hal pilihan antara mengikuti ajaran Allah dan RasulNya atau ajakan orang tua kepada kemusyrikan, maka yang harus diutamakan adalah tetap ajaran Allah dan RasulNya. Sikap Sa’ad ra. seperti yang telah disebutkan tadi adalah cerminan yang menguatkan pemahaman ini.

Sikap keharusan mengutamakan ajaran Allah kian terlihat ketika Allah berfirman pada ayat selanjutnya: anisykurly waliwalidayka, di sini keharusan bersyukur kepada Allah lebih di dahulukan penyebutannya. Kata anisykurly artinya “kau harus bersyukur kepadaKu”. Perhatikan ketegasan ungkapan ini, mengapa li (untuk Allah) didahulukan atas waliwalidaykum (untuk orang tuamua)? Allah adalah pemberi nikmat hakiki dan apa yang diberikan orang tua kepada anaknya tidak lebih dari karunia Allah kepadanya. Benar, orang tua telah sangat berjasa dan berbuat baik kepada anaknya. Tetapi semua jasa baik itu adalah karena karunia Allah. Seandainya Allah tidak menghendaki hal itu, tentu akan terjadi yang sebaliknya. Bukankah sudah banyak buktinya bahwa seorang ibu membunuh cabang bayinya. Seorang ayah membunuh anaknya dan lain sebagainya. Dari sini jelas bahwa sikap baik orang tua bagaimanapun adalah karena karunia Allah. Oleh sebab itu Allah-lah Pemberi karunia yang hakiki. Dan Karena itu Ia harus diutamakan di atas segala-galanya. Sampaipun harus melanggar keinginan orang tua atau seorang Ibu yang telah mengandung dan menyusuinya selama beberapa waktu tertentu sesuai dengan takdirNya.

Berapa Lama Seorang Ibu Harus Mengandung Cabang Bayinya?

Pernyataan ayat: hamalathu ummuhuu wahnan ‘alaa wahnin menggambarkan perjuangan seorang ibu pada saat-saat mengandung sang cabang bayi. Para ulama Fiqh menetapkan bahwa batas minimal waktu kehamilan adalah enam bulan. Ini berdasarkan ayat: wahamluhuu wafishaluhuu tsalaatsuuna syahra (ibunya mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan) (QS. Al Ahqaf:15), dan ayat: wafishaaluhuu fii ‘aamain (ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun) (QS. Luqman:14). Dari kedua ayat ini terlihat bahwa paling sedikitnya tenggang waktu kehamilan itu enam bulan. Makna ini dikuatkan lagi oleh sebuah riwayat: bahwa seorang wanita menikah lalu pada bulan keenam melahirkan, lalu dilaporkan ke Khalifah Utsman supaya dirajam (dengan asumsi ia telah berbuat zina). Melihat kejadian itu Ibn Abbas lalu menyebutkan kedua ayat di atas dan berkata: maka kehamilan itu minimalnya enam bulan dan menyusuinya duapuluh empat bulan. Atas dasar itu Utsman tidak jadi merajamnya. Setelah menyebutkan riwayat tersebut Ibnul Araby dalam tafsirnya Ahkamul Qur’an mengisyaratkan bahwa Ali bin Abi Thalib mendukung pendapat tersebut, lalu berkata: itu suatu kesimpulan hukum yang sangat tajam dan mengagumkan.

Batas Waktu Menyusui Berapa Lama?

Para ahli fiqh menyebutkan bahwa batas waktu menyusui maksimal dua tahun. Dalillnya ayat di atas: wafishaaluhuu fii ‘aamain. Fishal artinya fithaam (menyusui). Diperkuat lagi dengan ayat: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan” (QS. Al Baqarah: 233). Pendapat ini didukung oleh Mayoritas ulama fiqh: Imam Malik, Imam Sayafi’ie dan Imam Ahmad. Kecuali Imam Abu Hanifah yang melihat bahwa batas maksimal menyusui adalah dua tahun setengah. Dalillnya: wahamluhuu wafishaaluhuu tsalaatsuuna syahra. Di sini Abu Hanifa menafsirkan kata wahamluhu bukan dengan masa kehamilan, melainkan hamluhuu ‘alal yadain min ajlil irdha’ (memangku sang bayi untuk menyusuinya). Hanya saja pendapat ini ditolak oleh kedua muridnya: Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad. Maka dengan ini pendapat yang pertama tentu lebih kuat, tidak saja dari segi kualitas dalil melainkan juga dukungan mayoritas termasuk Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad.

Penemuan ilmu pengetatahuan moderen mengungkap rahasia kewajiabn menyusui ini lebih dalam lagi. Bahwa air susu seorang ibu mengandung protein dan segala yang dibutuhkan sang bayi dalam masa perkembangannya selama dua tahun. Tempratur hangatnya pun sangat pas dengat tempartur sang bayi yang setiap saat selalu berubah-ubah. Lebih dari itu dalam air susu ibu Allah bekalkan bahan yang membantu kekebalan tubuh sang bayi dari berbagai penyakit, di mana semuanya ini tidak akan pernah bisa diwakili dengan hanya minum susu buatan. Proses ini sebagaimana ketentuan Al Qur’an di atas dibatasi sampai dua tahun. Setelah itu kondisi tubuh sang bayi tidak mebutuhkan lagi bantuan air susu ibu dengan kandungannya yang sangat mengagumkan itu. (lihat Dr. Abdul Hamid Diyab dkk, Maath thibbi fil Qur’an, h.99-103)

Bolehkah Mentaati Perintah Orang Tua Dalam Hal Yang Dilarang Allah?

Sebuah kaidah yang sangat terkenal perlu ditekankan ketika harus menjawab pertanyaan ini: la thaata limakhluuqin fii ma’shiyatil khaaliq (tidak boleh ditaati seorang makhluq (siapapun dia) dalam hal berbuat maksiat kepada Sang Pencipta). Para ulama ketika menafisrkan ayat di atas: “wainjaahadaaka alaa antusyrika bii maalayasa laka bihi ilmun falaa tuti’huma” menguatkan hakikat ini. Mereka menyimpulkan: Bila ternyata mentaati orang tua dalam melakukan kemusyrikan hukumnya haram, maka mentaatinya untuk melakukan kemaksiatan apapun juga hukumnya haram. Artinya sekalipun orang tua anda berupaya keras untuk mempengaruhi agar anda tidak sholat, tidak ada pilihan bagi anda kecuali harus bertahan pada ajaran Allah. Anda harus tetap tegar menjalani kewajiban anda, dengan tidak menyakiti keduanya. Imam Al Qurthuby mengatakan: Wajibnya mentaati orang tua bukan dalam perbuatan dosa, pun bukan dalam meninggalkan kewajiaban, melainkan dalam mubahaat (yang dibolehkan). Pinjam istilah Ustadz Sayyid Quthub bahwa ketika orang tua berupaya mengajak kepada kemusyrikan maka hilanglah pada saat itu kewajiban untuk mentaatinya. (Fidzilalil Qur’an, vol.5, h.2788-2789)

Hakikat keharusan mengutamakan perintah Allah di atas segala perintah telah dipahami secara mendalam oleh para pendahulu (salaf) dari umat ini. Sikap Saad ra. setidaknya membuktikan kenyataan tersebut. Ditambah lagi Abu Bakar ketika pertama kali menyampaikan ceramah kepemimpinannya, ia menyatakan: “Wahai manusia, saya telah diangkat sebagai pemimpin kalian, ini bukan berarti saya lebih baik dari kalian. Maka bila saya berbuat baik, bantulah, tetapi jika saya berbuat salah, perbaiki. Taatilah selama saya mentaati Allah dalam menjalankan amanah kalian, namun jika saya berbuat maksiat kepada Allah, maka hilanglah kewajiban kalian untuk mentaati saya”.

Jika Kedua Orang Tua Tidak Beriman, Wajibkah Kita Berbuat Baik?

Ayat: “washahibhuma fiddunya ma’ruufa” mengandung perintah untuk selalu berbuat baik kepada kedua orang tua sekalipun keduanya tidak beriman. Bukan hanya itu, bahkan sekalipun keduanya berusaha untuk mengajak kepada kemusyrikan, kewajiban berbuat baik ini tetap harus dipertahankan. Sebatas mana perbuatan baik tersebut? Sebatas tidak melanggar ajaran Allah dan tidak keluar dari wilayah iman. Ketika salah satu dari keduanya sakit misalnya, anak wajib mebantunya, melayani keperluannya dan lain sebgainya.

Bahkan berdasarkan ayat “washahibhuma fiddunya ma’ruufa” tersebut, ada sebagian ulama fiqh yang menyimpulkan bahwa seorang anak tidak berhak menuntut qishah jika salah seorang dari keduanya melemparkan tuduhan zina (qadzaf). Pun juga keduanya tidah berhak dipaksa atau didenda secara pidana jika suatu saat tidak membayar hutang yang ditanggungnya. Sebab kewajiban seorang anak memberikan nafkah atasnya.

Haruskah Kita Mengikuti Jejak orang Saleh?

Ayat di atas memerintahkan agar kita mengikuti jejak orang-orang saleh, seperti para nabi, para sahabat, para tabi’in dan tabi’eittabien. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar mengikuti tuntutuan Allah. Karenanya mereka sukses dan bahagia: wattabi’ sabiila man anaaba (dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku).

Anaaba artinya raj’a ilaa syai’ (kembali kepada sesuatu). Para ahli tafsir mengatakan: maksudnya adalah meninggalkan kemusyrikan dan kembali ke jalan Islam. Dengan kata lain mereka kembali kepada Allah dengan kepribadian yang senantiasa istiqamah menjalani kewajiban kehambaanNya kepada Allah. Mereka benar-benar menyadari bahwa mereka kelak akan dikembalikan kepada Allah, untuk mempertanggungjawabkan sekecil apapun yang telah merela lakukan selama hidup di dunia. Perhatikan bunyi ayat selanjutnya: “Kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.

Ketika menafsirkan ayat ini Dr Wahbah Az Zuhaily mengatakan: anaaba dalam ayat tersebut maksudnya kembali kepada Islam, dan mengikuti Rasulullah SAW, kembali kepada Allah dengan bertauhid, bersikap ikhlas dalam menjalankan segala bentuk ketaatan. Bukan mengikuti jalan kedua orangtua yang mengantarkan kepada kemusyrikan. Perintah untuk mengikuti jejak orang-orang saleh ini –lanjut wahbah- menunjukan bahwa ijma’ul ummah adalah benar. Wallhu a’lam bishshawab.

al-Ikhwan.net | 22 January 2006 | 22 Dzulhijjah 1426 H | Abi AbduLLAAH


Disebutkan dalam kitab Fatwa-fatwa Kumpulan Fiqh Islam hasil Kumpulan Muktamar Islam dalam Daurah Muktamar ketiga tahun 1986 sebagai berikut:

Perumpamaan syariat bahwa bagi seorang yang telah mati dan telah dilakukan seluruh aturan syariat yang diwajibkan bagi jenazah atasnya, yaitu setelah jelas salah satu diantara tanda-tanda berikut ini:

1. Jika telah benar-benar berhenti detak jantungnya serta nafasnya dan ilmu kedokteran telah menetapkan bahwa berhentinya tersebut tidak dimungkinkan untuk berdetak lagi.

2. Jika telah berhenti seluruh organ otaknya dari berdenyut dan aturan kedokteran yang spesialis dan berpengalaman telah menetapkan bahwa denyutan tersebut tidak akan berdetak lagi dan boleh diambil otaknya.

Dan dalam kondisi tersebut diperkenankan mengambil bagian-bagian yang hidup yang menempel pada tubuh, walaupun bagian tubuh tersebut seperti jantung misalnya masih bekerja sebagaimana bagian yang berhubungan lainnya. ALLAHU a’lam.

Kesemuanya itu dikarenakan diantara tujuan kesehatan adalah jangan sampai berhentinya detak jantung dan hilangnya nafas sama sekali karena dengan demikian masih memungkinkan untuk dipacu selama jantungnya masih berdetak, tetapi jika jantungnya sudah berhenti berdetak dan diketahui hal tersebut melalui beberapa tanda-tanda seperti hilangnya gerakan dalam mata sama sekali, maka berarti pasien telah benar-benar meninggal. Sekalipun walaupun masih tersisa sedikit gerakan jantung, karena gerakan tersebut akan berakhir pada ketiadaan gerakan sama sekali.

Adapun jika otak belum sepenuhnya mati, maka mengambil bagian dari organ yang segar dari pasien pada kondisi tersebut merupakan pembunuhan atasnya, sebagaimana firman ALLAH SWT:

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannnya ialah jahannam, Kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa’: 93)

Sekalipun diizinkan oleh pasien untuk mengambil organnya, karena hal tersebut sama dengan membunuhnya pelan-pelan, dan izinnya sama sekali tidak bisa menghalalkan yang haram, dan nyawa pasien tersebut bukan miliknya sehingga membolehkannya memberikannya pada orang lain. Bersabda nabi SAW:

“Ada diantara umat sebelum kalian seorang laki-laki yang terluka parah, sehingga ia tak tahan menahan sakit, maka ia mengambil pisau dan memutuskan urat nadinya, maka tumpahlah darahnya sampai ia mati. Maka berfirman ALLAH SWT: Hamba-KU telah berani mendahului (keputusan) KU, maka AKU haramkan syurga baginya [1].”

Adapun pasien yang telah tidak ada harapan sembuh atau sakitnya divonis mati, juga tidak dibolehkan dibunuh karena alasan untuk mencegah penularan, karena masih ada jalan lain untuk mencegah penularan dan mencegah penularan lebih ringan dari membunuh, seperti dipisahkan atau dikarantina dari orang lain.

(Ringkasan dari kitab Ahsanul Kalam fi Fatawa wal Ahkam, karangan syaikh ‘Athiyyah Shaqr Ketua Lajnah Fatawa al-Azhar, jilid-11).

REFERENSI:

[1] Dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim