HOT TOPIC
Televisi dan Seni
Hari Jumat tanggal 9 Mei 2008, tiba-tiba Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengumumkan 10 tayangan siaran televisi bermasalah dan meminta publik untuk mewaspadainya. Kesepuluh program tayangan tersebut mencakup sinetron serial, variety show, dan tayangan anak-anak (detik.com, 9 Mei 2008). Sebenarnya rekomendasi KPI ini tidak mengherankan. Sudah bukan rahasia umum kalau berbagai tayang televisi di negeri ini memiliki banyak masalah. Dari unsur pornografi, kekerasan, hingga jam tayang pemutaran yang tidak mengindahkan pemirsanya.
Dengan dalih acaranya menghibur dan memiliki rating yang tinggi, para produser tidak menghiraukan berbagai protes yang sudah disampaikan oleh lembaga maupun perorangan. Padahal, jika dilakukan kajian lebih mendalam, argumentasi tersebut sangat lemah. Bagaimana dikatakan menghibur jika di setiap seri sinetron selalu disertai dengan kekerasan? Ironisnya pula, definisi menghibur ini diejawantahkan dengan tampilan acara yang pengisinya berpakaian seronok dan diselingi dengan guyonan menjurus porno serta merendahkan orang lain. Jika memang demikian, berarti rendah benar kualitas hiburan bangsa ini. Sungguh memalukan. Kita mengumbar terang-terangan aib sendiri dan lantas bangga dengan aib itu.
Demikian pula dengan klaim rating yang digembor-gemborkan oleh stasiun televisi. Apakah memang sudah terbukti validitas rating tersebut? Ataukah rating tersebut hanya permainan dari pihak televisi, pemasang iklan dan lembaga rating belaka? Harus diakui memang selama ini tidak pernah ada verifikasi, baik dari pemerintah maupun masyarakat tentang lembaga rating itu sendiri. Hasilnya, institusi ini merajalela, melakukan berbagai macam klaim seenaknya terhadap kualitas suatu acara. Sangat menyedihkan karena ternyata acara-acara yang diklaim memiliki rating tinggi adalah acara-acara sinetron dan reality show.
Pengembangan budaya yang sedang berkembang saat ini berbasiskan televisi. Hampir seluruh kultur masyarakat saat ini dipengaruhi oleh televisi. Kita dapat melihat pengaruh tayangan sinetron di pelosok desa yang sudah seperti kota. Pemuda-pemudinya berpakaian layaknya anak-anak kota sambil membawa handphone di sakunya. Anak-anak kecil sekarang lebih hafal syair lagu Dewa, Gigi dan berbagai band dewasa dibandingkan lagu anak-anak seperti Bintang Kejora.
Menurut penulis, telah terjadi kesalahan interpretasi seni dalam dunia hiburan Indonesia. Seni hanya menjadi entertainment (hiburan). Di negara-negara maju, seni adalah ekspresi hati. Seni merupakan karya agung yang memiliki cipta, rasa dan karsa tinggi. Bahkan, dalam konteks tertentu, seni adalah ekspresi nilai-nilai keagamaan. Di Indonesia, ekspresi seni dibalut dengan kebebasan berekspresi. Yang terjadi adalah ekspresi yang kebablasan. Alih-alih menjadi karya monumental, seni bahkan dikurung dalam tirani eksploitasi tubuh. Maka kita dapat melihat televisi dipenuhi oleh obralan seksualitas, baik yang tersirat maupun tersurat.
Penulis termasuk salah satu orang yang sepakat ketika pemerintah membentuk komisi penyiaran dan merancang undang-undang antipornografi. Tayangan televisi sudah sangat memuakkan. Demikian pula dengan penempatan nilai-nilai seni yang tidak sesuai dengan idealismenya. Penulis meyakini pemerintah tidak bermaksud mengekang kebebasan berekspresi warga negaranya. Kebebasan juga harus bertanggung jawab. Jangan sampai klaim kebebasan mengganggu hak asasi warga negara lainnya. Jangan sampai pula kebebasan tersebut malah memporak-porandakan tata nilai yang sebelumnya telah tertata rapi.
Pengawasan dan evaluasi muatan televisi mutlak menjadi tanggung jawab kita bersama. Dalam kapasitas sebagai orang tua, marilah bersama-sama mengawasi putra-putrinya dalam menyaksikan televisi. Pilihkanlah tayangan yang lebih memiliki nilai edukasi dibandingkan yang menawarkan mimpi. Sebagai insan pertelevisian, marilah kita kurangi ego kapitalisme. Dalam membuat suatu tayangan, jadikan aspek manfaat bagi masyarakat sebagai pertimbangan utama, bukan keuntungan finansial semata. Jika kita memang menginginkan bangsa ini tumbuh menjadi bangsa besar dan maju, mudah-mudahan hal tersebut bukanlah beban yang memberatkan.
(tulisan orang)
Labels: perjalanan, sendiri