Site Network: Home | perjalanan | komputer | About

HOT TOPIC

"Wahai anak cucu Adam,engkau hanyalah kumpulan dari hari-hari yang terhitung.Bila berlalu satu hari berarti hilanglah sebagian darimu.Jika hilang sebagian darimu maka bertambah dekatlah saat kematianmu.Kalau engkau sudah mengetahui hal itu Maka segeralah berbuat!(Beramal, bersiap dan berbekallah)."( Hasan al-Bashri )
eramuslim - Hari Ahad kemarin mungkin hari yang menyenangkan. Bukankah hari libur selalu menjadi hari untuk sejenak lepas dari rentetan deadline pekerjaan.
Hari Ahad kemarin bisa jadi hari yang indah, karena biasanya kita bebas bersantai di rumah tanpa harus menikmati kemacetan jalan, bercengkrama dengan keluarga atau pergi jalan-jalan untuk sebentar melupakan jerat rutinitas kantor.
Oh iya, hari Ahad kemarin, hari yang paling ditunggu-tunggu oleh Eci, teman kantor saya. Karena hari itu ia melangsungkan pernikahan. Hari yang paling ditunggunya. Hari paling berbahagia dalam kehidupannya.
Tapi ternyata hari Ahad kemarin adalah hari yang paling menakutkan, bagi saudara kita di bumi Aceh sana. Ternyata hari Ahad kemarin adalah hari paling kelam yang meninggalkan trauma kepedihan bagi hampir semua penduduk Serambi Mekkah. Hari itu tak sedikitpun mereka kira akan menjadi hari sepenuh duka dan luka.
Pagi, di hari itu, semuanya masih terasa sama. Arakan awan putih, pohon hijau melambai, ibu-ibu pergi ke pasar, anak-anak bermain ceria, bahkan di sebuah lapangan tengah kota sebuah perlombaan lari tengah di gelar, udara bertiup sejuk. Sampai tiba saat itu. Dalam sekejap semua tak lagi sama. Ujud tanah rencong terkoyak hampir sempurna.
Dan bapak itu berkisah, rumahnya berada di pesisir pantai. Ia tengah di dalam rumah, ketika tiba-tiba saja hingar gemuruh singgah di telinga. Bergegas ia ke luar, dan sejenak ia seperti berada dalam mimpi. Sejauh mata memandang, ia tak melihat setetes pun air laut yang biasanya membiru. Ia bersama yang lainnya menuju ke arah pantai. Mereka tertegun penuh decak kagum. Ternyata laut tak hendak berbagi suka. Air yang surut itu datang. Bergulung-gulung. Tinggi sekali. Ombaknya menjelma tangan yang rindu dan memberikan songsongan kepada kekasihnya. Ia berlari. Sempat ia melihat para tetangganya tenggelam tersapu air yang datang tiba-tiba. Dan ia pingsan. Ketika siuman, sebuah kenyataan membuat hatinya memar. Puluhan ribu nyawa saudaranya terenggut air laut yang juga mengerjarnya tanpa henti.
***
Saya tidak sendirian tercenung di depan televisi. Ruang tengah itu hening. Kami tak mampu berkata-kata. Betapa tidak, puluhan jenazah balita berjejer terbujur diam di antara ratusan jenazah dewasa lainnya. Hampir semua berbalut kain yang ujudnya sudah tak layak pakai. Ah, anak-anak polos itu. Ribuan jenazah lainnya masih berserak, di antara tumpukan sampah kayu, di tengah jalan, di mana-mana. Betapa mudah bagi Allah merenggut puluhan ribu nyawa dalam waktu satu jeda. Sangat mudah.
"Duh Allah, sedemikian bebalkah saya, hingga harus diingatkan dengan tsunami sedahsyat ini," ucapan kakak ipar terdengar samar. Saya diam. Mendengar ucapannya, saya tersenyum miris. Yah, betapa bebal jiwa ini, hingga Allah harus menegur dengan begitu keras. Sudah membatu seperti apa hati ini, hingga untuk menyentuhnya Allah harus menggeserkan dasar lautan dan terjadilah gempa disertai tsunami.
"Ya Ghaffar, janganlah Engkau hukum kami, jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Allah, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami, Ampunilah kami."
***
Di ujung hening, ada yang di gumamkan ke angkasa diam-diam. Malu-malu. Karena betapa banyak karat dosa yang telah dilakukan.
Wahai Yang Maha Lembut pengasihnya, perkenankan kami, menengadah menjemput cahaya keagungan Mu, meski Engkau tau betapa legamnya jiwa-jiwa ini.
Subhanaka Ya Allah, kami tahu betapa hati-hati ini telah ditumbuhi banyak ilalang tinggi bahkan berduri. Kami teramat sering melupakan Engkau dan mencintai dunia. Kami sembah kesenangan, kami agungkan kekayaan. Kami lupa berbagi. Kami lupa memberi.
Yang Maha Asih dan Sayang, perkenankan kami kembali belajar. Belajar saling mencinta. Belajar menelagakan kembali gemericik ukhuwah di antara kami.
Sahabat, bersyukurlah, kita masih diizinkan Sang Pencipta, untuk memasuki pagi dan petang. Bersyukurlah jika kita masih diperkenankan melihat mentari tahun baru. Bersyukur masih ada porsi usia. Itu berarti bahwa kita masih diberi jeda untuk bertaubat dan berbuat yang terbaik. Jangan pernah menyia-nyiakannya.
Sahabat, renungkan petikan email yang saya terima kemarin siang. Penulisnya menganalogikan dosa sebagai pohon berduri :
"Di dalam hati kita pohon berduri itu tumbuh saat kita melakukan keburukan kepada Tuhan, diri dan sesama. Jangan menunggu waktu, karena tiap detik adalah kesempatan mengakarkan, mengokohkan pohon itu di sekujur tubuhmu. Ambillah kapak imanmu segera sebelum terlambat untuk menumbangkannya. Penundaan hanyalah melahirkan ketakberdayaan. Kelak saat kapak imanmu tidak lagi tajam, tubuhmu pun sudah kehilangan kekuatan. Belantara pohon berduri itu bahkan kelak menusuk mata, telinga dan hatimu. Sebelum telingamu bernanah oleh cemoohan, matamu menangis oleh kedukaan tak berujung, dan hatimu berdarah oleh himpitan derita dan adzab, tebaslah pohon berduri itu. Janganlah berani melawan waktu, karena waktu selalu menertawakan keringkihanmu."
Allah, perkenankan kami pulang, kami ingin menebas pohon berduri itu.
***
Mari hantar sepenuh doa untuk semua saudara kita yang terkena bencana. Semoga Allah menerima semua yang pergi menghadap-Nya. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan keikhlasan dan kesabaran. Semoga setiap kita diberikan kemampuan untuk mengambil pelajaran dari bencana kemarin.

0 Comments:

Post a Comment